Hari itu (saya lupa hari apa, begitu juga tanggalnya, yang
pasti sudah lebih dari seminggu jika dihitung dari hari ini) tiba-tiba aliran
air terhenti ke rumah tangga kami. Saat itu saya bersikap biasa-biasa saja, “tidak
apa-apa, ntar datang lagi” pikir saya saat itu. Hari kedua terjadi lagi. Hari
berikutnya terjadi lagi dan akhirnya kejadian tersebut membuat saya dan
tetangga angkat suara, mengeluh dan mempertanyakan mengapa air PAM seperti ini,
“datang dan pergi begitu saja”.
Seorang tetangga mencoba menghubungi nomor ponsel yang
tertera dalam kartu air yang dibagikan petugas pemungut bayaran air PAM. Tidak terhubung.
Beberapa kali dicoba nomor itu tetap saja tak terhubung. Maka dengan semangat
anak milenial, saya coba bertanya melalui akun FB, “Siapa pengurus air PAM?”
lalu menyatakan keluhan. “Saat ini tak ada air mengalir ke rumah tangga kami?”
Jawabannya?
Tidak tahu.
Bahkan fanpage desa yang sengaja saya tulis akunnya di
postingan tidak memberikan respon. Dalam hal ini saya tidak mau berasumsi.
Takut dosa.
Lalu sebuah suara dalam ruang kesadaran tiba-tiba muncul.
“Apa yang terjadi adalah bagian dari
kehendak-Nya. Bukankah setiap peristiwa yang terjadi bisa terjadi dengan
izin-Nya. Termasuk masalah air ini. Mengapa tidak mengambil pelajaran dari
peristiwa ini? Mengapa tidak jadikan ini sebagai media untuk berlatih bersabar
dan pasrah kepada Tuhan?”
Saya terkejut dengan suara itu. “Benar juga. Tapi kan saya
butuh air untuk bersih-bersih, terutama untuk wudhu” Ujar saya dalam hati
“Bukankah kau punya tempat penampungan
air? Apakah selama ini kau pernah tak dapat air untuk mandi atau wudhu?” Kesadaran
itu mulai bersuara lagi.
“Tidak. Tapi, itu terjadi karena saya ngirit air. Saya nyuci
di malam hari, ketika air datang dengan semangatnya, dan resikonya badan harus
kedinginan” Ujar saya.
“Nah, mengapa kau tidak bersabar dan tetap
melakukan itu hingga Tuhan memberi keputusan-Nya. Perstiwa ini menjadi masalah
atau tidak tergantung dari sudut kau memandangnya. Kau bisa memandangnya
sebagai masalah dan tentu saja akan memberikan efek negatif bagi kehidupanmu,
atau sekarang kau memandangnya sebagai berkah yang akan melatihmu untuk
bersabar dan pasrah kepada Tuhan. Bukankah Tuhan mencintai orang-orang yang
besabar? Bukankah Islam juga bisa dimaknai sebagai penyerahan diri secara total
kepada Tuhan? Tidak tertarikkah kau dengan cinta Tuhan? Dan masih percaya
dirikah kau mengaku muslim jika untuk bersabar dan pasrah kepada Tuhan saja kau
tak mau?” Ucap kesadaran itu.
Saya terdiam. Tak mampu lagi berkata-kata
Hingga hari ini masalah air masih terus berlangsung. Air
mengalir ke rumah hanya pada malam hari. Namun, sesekali di pagi hari ia juga
datang berkunjung, memberi secercah cahaya dan harapan di hati kami, meski
hanya sebentar.
“Jika kau berbuat baik maka kebaikan
itu untuk dirimu sendiri. Jika kau berbuat buruk maka keburukan itu untuk
dirimu sendiri. Setiap perkataan, perbuatan dan hati akan diminta
pertanggungjawabannya. Itu kata Tuhan dalam Al-Qur’an”
Ujar kesadaran itu.
Saya semakin terdiam, menunduk, memejamkan mata lalu
bergumam, “Tuhan, maafkanlah saya. Dan anugerahkanlah saya kesabaran serta
kelapangan hati untuk memaafkan semua pihak yang terlibat dalam masalah air ini”
***
Catatan:
Begitu tulisan ini selesai saya buat, kran air yang sengaja
saya buka tiba-tiba mengeluarkan suara, meneriakkan bahwa air sudah kembali
berkunjung. Semoga kali ini kunjungannya bukan lagi sekedar mampir tapi berdomisili.
Lombok Timur, 5 Juli 2020
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon