Mentari mulai hadir dengan malu-malu,
memberikan berkas warna pada langit yang masih kelabu. Angin berhembus,
menambah dinginnya pagi. Meski begitu, tubuhku harus segera diguyur dengan air
agar rasa malas segera berlalu, berubah
menjadi semangat baru untuk aktivitas pagi ini.
Kamar mandi kami tidak dilengkapi oleh
alat pemanas. Air pegunungan datang ke rumah melalui selang-selang kecil,
tertampung langsung di bak penampungan. Kemudian keluar melalui kran kecil.
Tentu rasanya sangat dingin. Andai saja hari ini tak ada kegiatan penting yang
akan ku ikuti, mungkin aku akan akan berfikir seribu kali untuk mandi.
Brrrr!
Dinginnya luar biasa!
***
“Dul, jam 7.30 kita harus berangkat!”
Ucapku kepada adik bungsuku.
“Oke!” Balasnya.
Beberapa menit kemudian aku telah siap
dengan semua perlengkapan yang harus dibawa. Laptop, buku, pena, dan tentu saja
uang untuk mendaftar. Secara, aku hendak mengikuti kegiatan pelatihan menulis
yang diselenggarakan oleh kawan-kawan akaliris. Pematerinya orang Lombok yang
lama tinggal di Surabaya bersama karya-karyanya. Namanya Lalu Abdul Fatah,
dipanggil Lalu.
Mesin motor mulai dihidupkan. Setelah
pamit ke orang tua, akhirnya aku berangkat bersama adikku menuju lokasi
kegiatan, yakni aula kantor perpustakaan dan arsip daerah Lombok Timur. Entah
karena akan mengikuti pelatihan menulis pertamaku atau karena akan bertemu
dengan kawan-kawan, sepanjang perjalanan senyum tak pernah lepas dari wajahku.
Atau mungkin karena kerinduanku pada tanah yang selama 4 tahun merekam semua
kisah dalam proses ku menuntut ilmu, Pancor yang dikenal dengan sebutan Kota
Santri. Entahlah, mungkin bukan salah satunya tetapi semuanya.
08.00 WITA. Aku tiba di lokasi. Suasana
masih cukup sepi. Hanya beberapa pegawai perpustakaan yang kelihatan. Sementara
panitia dan peserta workshop sepertinya belum datang. Aku pun menuju berugak
yang memang disediakan oleh instansi untuk pengunjung, menunggu kehadiran yang
lain.
***
“Menulis itu berfikir”. Kata Lalu Abdul
Fatah selaku narasumber dalam workshop. Kalimat itu pernah ku baca, diungkapkan
oleh beberapa orang dalam tulisan mereka. Namun, mendengar langsung dari
seorang penulis produktif tentu sensasinya beda. Ada gimananya gitu... kalau
diibaratkan makanan, ya bisa dibilang gurih. Dia bercerita banyak tentang
menulis, tentang karya-karyanya beserta karya-karya anak didiknya yang masih
berstatuskan siswa SD tapi sudah bisa nerbitin tulisan. Lah aku? Aku sudah
sarjana dan belum ada karyaku yang dibukukan.
Dalam workshop ini, yang dibahas adalah
bagaimana menulis fiksi. Narasumber memaparkan bahwa hal pertama yang harus
dimiliki itu ide, yang kemudian digali dan dikembangkan dengan kata kunci 5W +
1H (What, Who, Why, Where, When + How). Untuk memperindah/memperkaya tulisan
maka sangat disarankan untuk melakukan riset terkait dengan tulisan yang
dibuat, risetnya bisa dengan terjun ke lapangan, ngobrol dengan orang-orang
plus jangan lupa literatur. Biar tulisannya tidak sekedar tulisan, tetapi punya
makna sehingga orang bisa mendapatkan manfaat dari tulisan yang dibuat. Selain
itu, komitmen adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penulis. “Usahakan
dalam satu hari sediakan minimal 2 jam untuk menulis” Terang Lalu.
“Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, jika
ingin harum maka bergaulah dengan pedagang parfum. Maka jika ingin jadi penulis
bergabunglah dengan komunitas penulis”. Tambah Lalu dalam penjelasannya. Kalau
dipikir-pikir emang bener sih (Ya iya lah bener, masak narasumber ngomongnya
ngaco? Hehe....). Ketika Lalu selesai mengatakan itu aku menyadari satu hal,
bahwa selama ini aku tidak aktif disitu. Aku nulis ya nulis gitu saja. Jarang
gabung bersama penulis lain. Kalaupun ia, hanya komunitas online dimana disana
aku bersikap pasif. Maka, dalam hati aku berjanji bahwa setelah workshop ini
harus ada perubahan. Apalagi untuk online aku cukup aktif, hanya saja aktifnya
di facebook, sementara ngeblog masih timbul tenggelam. Untung-untung gak
tenggelam ke dasar lautan. So, bersyukur bisa hadir di acara ini, sehingga
sekarang semangat untuk menulis bangkit lagi.
“Silakan tulis 10 ide untuk tulisan
yang akan dibuat!” Ujar Lalu dalam beberapa menit berikutnya.
“Apa ya?” Aku bertanya dalam hati sambil
mengingat-ingat beberapa fenomena yang ku lihat beberapa hari terakhir ini.
Maka, ku daftarlah ide-ide itu, antara lain sebagai berikut:
Tidak
mau sekolah (seorang anak umur 5 tahun tidak mau masuk TK lagi, katanya
sekolahnya ntar saja di SD).
Merariq
(Merariq = menikah. Seorang pemuda menikahi perempuan yang masih berstatuskan
siswa MA)
Gara-gara
tab (Seorang anak turun prestasinya setelah aktif main tab yang dibelikan orang
tuanya)
Siswa
baru (Suka cita menjadi siswa baru)
Tidak
suka dapur (Seorang perempuan yang tak suka memasak)
Sakit
karena perjalanan jauh (Seorang anak yang selalu sakit-sakitan setelah
melakukan perjalannan jauh sehingga ia harus bersekolah di tempat yang tidak
jauh dari tempat tinggalnya. Lalu bagaimana dengan kuliah yang harus ia datangi
dengan menempuh perjalanan jauh?)
Idul
fitri yang tak fitri (konfilk antara beberapa orang menjelang idul fitri, dan
ketika hari raya idul fitri mereka tidak teguran)
Melimpahnya
potensi sumber daya alam tetapi malah memilih jadi buruh migran
Orang
tua yang tak sadar telah membunuh potensi anaknya (Orang tua yang melarang
anaknya menggunakan perlengkapan sekolah ketika berada di rumah, karena takut rusak
dll)
Kekerasan
yang dipandang lumrah (Seorang ayah yang memukul anaknya, dan keluarga lain tak
berani melarang/memperingatkan bahwa itu salah, bahkan menganggap itu sebagai
sebuah kewajajaran)
Tak lebih dari sepuluh menit ide itu ku
dapatkan. Aku takjub sendiri, ternyata gampang sekali aku dapet ide, sesuatu
yang menurut orang harus didapatkan dengan peras keringat, banting tulang
hingga berdarah-darah. Haha... nggak segitunya kali! Yang kemudian ku sesali
adalah mengapa selama ini aku bersikap pasif dalam menulis? Padahal ide yang bisa ku tulis begitu banyak. “Hmmm... harus ada perubahan! Pokoknya aku
harus mulai aktif menulis!” Gumamku dalam hati.
***
“Dari
10 ide yang ditulis tadi, silakan kawan-kawan menyebutkan satu ide yang ingin
kawan-kawan tulis menjadi cerita!” Ucap Lalu pada sesi berikutnya dalam acara workshop
tersebut.
“Seorang nenek yang hamil di luar
nikah!” Ucap salah satu peserta
“Perempuan dengan beragam keahlian!”
Ucap yang lainnya
“Merariq atau sekolah!” Ucapku dengan
percaya diri saat tiba giliranku. Ini tidak ada di daftar ide yang ku tulis,
tetapi gabungan dari beberapa ide tersebut, yang alur ceritanya tergambar
dengan jelas di otakku. Tinggal ku tuliskan saja.
***
Notes:
Untuk kawan-kawan akaliris, terima
kasih sudah mengadakan “Workshop Menulis”. Semoga kegiatan-kegiatan berikutnya tetap bisa
ku ikuti.
Untuk narasumber workshop ini, Lalu Abdul
Fatah, terima kasih atas ilmunya! Semoga suatu hari karyanya bisa memenangkan hadiah nobel.
Untuk kawan yang menyebabkanku bisa hadir
di acara tersebut, terima kasih banyak ya,,,,, semoga Tuhan memberi balasan
luar biasa atas kebaikannya: "Urusannya dipermudah, dan segera
dapat makmum yang siap shalat berjamah dalam kondisi apapun!"
Amiiin!
Sign up here with your email


ConversionConversion EmoticonEmoticon