>

Workshop Menulis Akaliris #1


Mentari mulai hadir dengan malu-malu, memberikan berkas warna pada langit yang masih kelabu. Angin berhembus, menambah dinginnya pagi. Meski begitu, tubuhku harus segera diguyur dengan air agar  rasa malas segera berlalu, berubah menjadi semangat baru untuk aktivitas pagi ini.

Kamar mandi kami tidak dilengkapi oleh alat pemanas. Air pegunungan datang ke rumah melalui selang-selang kecil, tertampung langsung di bak penampungan. Kemudian keluar melalui kran kecil. Tentu rasanya sangat dingin. Andai saja hari ini tak ada kegiatan penting yang akan ku ikuti, mungkin aku akan akan berfikir seribu kali untuk mandi.

Brrrr!
Dinginnya luar biasa!

***

“Dul, jam 7.30 kita harus berangkat!” Ucapku kepada adik bungsuku.

“Oke!” Balasnya.

Beberapa menit kemudian aku telah siap dengan semua perlengkapan yang harus dibawa. Laptop, buku, pena, dan tentu saja uang untuk mendaftar. Secara, aku hendak mengikuti kegiatan pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh kawan-kawan akaliris. Pematerinya orang Lombok yang lama tinggal di Surabaya bersama karya-karyanya. Namanya Lalu Abdul Fatah, dipanggil Lalu.

Mesin motor mulai dihidupkan. Setelah pamit ke orang tua, akhirnya aku berangkat bersama adikku menuju lokasi kegiatan, yakni aula kantor perpustakaan dan arsip daerah Lombok Timur. Entah karena akan mengikuti pelatihan menulis pertamaku atau karena akan bertemu dengan kawan-kawan, sepanjang perjalanan senyum tak pernah lepas dari wajahku. Atau mungkin karena kerinduanku pada tanah yang selama 4 tahun merekam semua kisah dalam proses ku menuntut ilmu, Pancor yang dikenal dengan sebutan Kota Santri. Entahlah, mungkin bukan salah satunya tetapi semuanya.

08.00 WITA. Aku tiba di lokasi. Suasana masih cukup sepi. Hanya beberapa pegawai perpustakaan yang kelihatan. Sementara panitia dan peserta workshop sepertinya belum datang. Aku pun menuju berugak yang memang disediakan oleh instansi untuk pengunjung, menunggu kehadiran yang lain.

***

“Menulis itu berfikir”. Kata Lalu Abdul Fatah selaku narasumber dalam workshop. Kalimat itu pernah ku baca, diungkapkan oleh beberapa orang dalam tulisan mereka. Namun, mendengar langsung dari seorang penulis produktif tentu sensasinya beda. Ada gimananya gitu... kalau diibaratkan makanan, ya bisa dibilang gurih. Dia bercerita banyak tentang menulis, tentang karya-karyanya beserta karya-karya anak didiknya yang masih berstatuskan siswa SD tapi sudah bisa nerbitin tulisan. Lah aku? Aku sudah sarjana dan belum ada karyaku yang dibukukan.

Dalam workshop ini, yang dibahas adalah bagaimana menulis fiksi. Narasumber memaparkan bahwa hal pertama yang harus dimiliki itu ide, yang kemudian digali dan dikembangkan dengan kata kunci 5W + 1H (What, Who, Why, Where, When + How). Untuk memperindah/memperkaya tulisan maka sangat disarankan untuk melakukan riset terkait dengan tulisan yang dibuat, risetnya bisa dengan terjun ke lapangan, ngobrol dengan orang-orang plus jangan lupa literatur. Biar tulisannya tidak sekedar tulisan, tetapi punya makna sehingga orang bisa mendapatkan manfaat dari tulisan yang dibuat. Selain itu, komitmen adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penulis. “Usahakan dalam satu hari sediakan minimal 2 jam untuk menulis” Terang Lalu.

“Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, jika ingin harum maka bergaulah dengan pedagang parfum. Maka jika ingin jadi penulis bergabunglah dengan komunitas penulis”. Tambah Lalu dalam penjelasannya. Kalau dipikir-pikir emang bener sih (Ya iya lah bener, masak narasumber ngomongnya ngaco? Hehe....). Ketika Lalu selesai mengatakan itu aku menyadari satu hal, bahwa selama ini aku tidak aktif disitu. Aku nulis ya nulis gitu saja. Jarang gabung bersama penulis lain. Kalaupun ia, hanya komunitas online dimana disana aku bersikap pasif. Maka, dalam hati aku berjanji bahwa setelah workshop ini harus ada perubahan. Apalagi untuk online aku cukup aktif, hanya saja aktifnya di facebook, sementara ngeblog masih timbul tenggelam. Untung-untung gak tenggelam ke dasar lautan. So, bersyukur bisa hadir di acara ini, sehingga sekarang semangat untuk menulis bangkit lagi.

“Silakan tulis 10 ide untuk tulisan yang akan dibuat!” Ujar Lalu dalam beberapa menit berikutnya.

“Apa ya?” Aku bertanya dalam hati sambil mengingat-ingat beberapa fenomena yang ku lihat beberapa hari terakhir ini. Maka, ku daftarlah ide-ide itu, antara lain sebagai berikut:

Tidak mau sekolah (seorang anak umur 5 tahun tidak mau masuk TK lagi, katanya sekolahnya ntar saja di SD).

Merariq (Merariq = menikah. Seorang pemuda menikahi perempuan yang masih berstatuskan siswa MA)

Gara-gara tab (Seorang anak turun prestasinya setelah aktif main tab yang dibelikan orang tuanya)

Siswa baru (Suka cita menjadi siswa baru)

Tidak suka dapur (Seorang perempuan yang tak suka memasak)

Sakit karena perjalanan jauh (Seorang anak yang selalu sakit-sakitan setelah melakukan perjalannan jauh sehingga ia harus bersekolah di tempat yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Lalu bagaimana dengan kuliah yang harus ia datangi dengan menempuh perjalanan jauh?)

Idul fitri yang tak fitri (konfilk antara beberapa orang menjelang idul fitri, dan ketika hari raya idul fitri mereka tidak teguran)

Melimpahnya potensi sumber daya alam tetapi malah memilih jadi buruh migran

Orang tua yang tak sadar telah membunuh potensi anaknya (Orang tua yang melarang anaknya menggunakan perlengkapan sekolah ketika berada di rumah, karena takut rusak dll)

Kekerasan yang dipandang lumrah (Seorang ayah yang memukul anaknya, dan keluarga lain tak berani melarang/memperingatkan bahwa itu salah, bahkan menganggap itu sebagai sebuah kewajajaran)

Tak lebih dari sepuluh menit ide itu ku dapatkan. Aku takjub sendiri, ternyata gampang sekali aku dapet ide, sesuatu yang menurut orang harus didapatkan dengan peras keringat, banting tulang hingga berdarah-darah. Haha... nggak segitunya kali! Yang kemudian ku sesali adalah mengapa selama ini aku bersikap pasif dalam menulis? Padahal ide yang bisa ku tulis begitu banyak. “Hmmm... harus ada perubahan! Pokoknya aku harus mulai aktif menulis!” Gumamku dalam hati.

***

“Dari 10 ide yang ditulis tadi, silakan kawan-kawan menyebutkan satu ide yang ingin kawan-kawan tulis menjadi cerita!” Ucap Lalu pada sesi berikutnya dalam acara workshop tersebut.

“Seorang nenek yang hamil di luar nikah!” Ucap salah satu peserta

“Perempuan dengan beragam keahlian!” Ucap yang lainnya

“Merariq atau sekolah!” Ucapku dengan percaya diri saat tiba giliranku. Ini tidak ada di daftar ide yang ku tulis, tetapi gabungan dari beberapa ide tersebut, yang alur ceritanya tergambar dengan jelas di otakku. Tinggal ku tuliskan saja. 

***





Notes:
Untuk kawan-kawan akaliris, terima kasih sudah mengadakan “Workshop Menulis”. Semoga kegiatan-kegiatan berikutnya tetap bisa ku ikuti.

Untuk narasumber workshop ini, Lalu Abdul Fatah, terima kasih atas ilmunya! Semoga suatu hari karyanya bisa memenangkan hadiah nobel.

Untuk kawan yang menyebabkanku bisa hadir di acara tersebut, terima kasih banyak ya,,,,, semoga Tuhan memberi balasan luar biasa atas kebaikannya: "Urusannya dipermudah, dan segera dapat makmum yang siap shalat berjamah dalam kondisi apapun!"

Amiiin!





Previous
Next Post »