>

Hakikat Pernikahan


Pernikahan bukan hanya soal melanjutkan keturunan
Tetapi soal kesamaan visi dalam perjuangan
Saling menguatkan di setiap langkah perjalanan
Untuk kembali
Kepada Tuhan



 ***

“Kapan nikah?”

Pertanyaan tersebut tentu sudah tak asing kita dengar, bahkan digunakan sebagai salah satu iklan di layar kaca. Meski sederhana (karena hanya terdiri dari dua kata) pertanyaan tersebut memiliki multitafsir, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Bagi yang bertanya, bisa bermakna hanya sebagai basa basi kepada orang lain, sindiran atau harapan. Bagi yang ditanya, yang dalam bahasa Indonesia (jika tidak salah) disebut objek penderita, akan memberikan beragam respon. Bisa merespon dengan tertawa karena menganggapnya sebagai pertanyaan lucu atau lelucon, atau merespon dengan tatapan heran sambil berkata, “kok nanya ke gue sih? Nanya ke Tuhan dong!”. Atau bisa juga merespon dengan wajah sedih tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, lalu membuat bendungan air mata yang kemudian meluap membasahi pipinya, atau merespon dengan memberikan jawaban pasti, “kata pacarku sih tahun depan!” dan lain-lain.

Kalau pembaca ditanya kapan nikah?
Kira-kira akan jawab apa?

Kalau aku yang ditanya?
Ya, aku bakalan jawab, “ntar kalau ada lelaki yang punya visi yang sama dalam kehidupan datang melamar!”

Kalau gak ada yang seperti itu?
Ya, gak usah nikah!
Repot banget jadi orang!

***

Bagi beberapa orang, mungkin judul tulisan ini lumayan serius, bahkan dalem banget. Tapi, seriusnya cukup di kalimat-kalimat awal saja, dimana kalimat tersebut bisa disetujui atau dibantah oleh pembaca. Sebagai penulis, salah satu harapanku adalah mendapat komentar dari pembaca terkait itu, jika setuju mengapa bisa setuju, jika tidak setuju mengapa bisa begitu. Untung-untung ada pembaca yang mau berbagi cerita atau pengalaman terkait dengan apa yang kita bicarakan, pernikahan. Sehingga kita dan pembaca yang lainnya bisa mengambil inspirasi dari cerita atau pemikiran yang kita bagikan.

Dalam tulisan ini, aku hanya ingin ngobrol santai terkait dengan tema tulisan ini, pernikahan. Urusan definisi dan lain-lainnya silakan cari bukunya. Untuk buku, aku rekomendasikan buku-buku yang ditulis Mohammad Fauzil Adhim.

Akhir-akhir ini, aku mendapat banyak sekali kabar tentang pernikahan, mulai dari teman-teman dekat, keluarga, tetangga bahkan orang asing yang menikah diluar logika kewajaran. Masih inget kan kabar laki-laki usia 16 tahun menikahi perempuan tua (nenek-nenek) ? Atau lelaki tua (kakek-kakek) mau nikain anak perempuan yang seharusnya duduk dibangku SMP?

Gak tau soal itu?
Ya amplop!!
Ya udah, lok mau tahu ya segera buka google dech!
Lok nggak, lanjutin aja bacanya!

Adapun kabar pernikahan yang ku terima tersebut tidak selalu bernuansa bahagia. Ada anak usia sekolah menikah karena MBA (married by accident), ada anak usia sekolah menikah karena korban broken home, ada anak usia sekolah menikah karena kelamaan libur (bingung mau ngapain, ya udah nikah aja). Tapi, gak sedikit kabar pernikahan yang ku terima bersifat suka cita, menikah atas dasar cinta. So sweet!

Namun, dari semua itu yang paling membuatku takjub adalah kebanyakan yang menikah itu adalah teman-temanku yang dulunya terkenal diem, adem ayem, yang gak disangka-sangka. Sementara yang suka cuap-cuap, ribut ngomongin nikah, kesana kemari bawa pacar, kok sampe sekarang gak nikah-nikah. Sorry, kawan! Jangan tersinggung ya, aku hanya mengutarakan keherananku. Hehe... Tapi, sebagai kawan yang baik memang kita harus saling memaklumi, masing-masing kita punya alasan untuk menikah dan tidak menikah, tentu tanpa melupakan takdir Tuhan.

So, lanjut ya!

Menurut para ahli (siapa ahlinya, silakan browshing atau cari bukunya), menikah itu butuh persiapan. Dan persiapan yang paling utama adalah ilmu agama tentang pernikahan, baik fikih, syariat maupun hakikatnya sehingga pernikahan bisa berkah. Berkahnya gak hanya bagi diri sendiri tetapi bagi alam semesta. Kebanyakan orang mengatakan bahwa menikah itu atas dasar cinta (kepada pasangan). Inget ya, kata para ahli lagi, cinta hanya bertahan hanya sampai empat tahun. So, jika pacaran udah 3 tahun, berarti masa tenggangnya tinggal satu tahun. Lalu apa yang menyebabkan orang bisa bertahan dalam pernikahannya hingga bertahun-tahun? Bahkan ada yang pasangannya udah duluan pulang (baca: meninggal), masih saja bertahan single.

Apa yang menyebabkannya?

Lagi, menurut para ahli. Bangunan pernikahan akan bisa bertahan dengan kokoh tergantung dari landasan penyangganya. Lalu landasan yang bagaimana yang seharusnya dimiliki? Islam mengajarkan tentang tauhid, dan telah memaparkan ada 4 kriteria memilih calon pendamping hidup. Rupa (wajah), harta, keturunan dan agama. Namun, jika mau selamat dunia dan akhirat, maka pilihlah pendamping hidup karena agamanya.

Sejarah telah membuktikan hal tersebut.

Seorang muslim tentu tahu bahwa Bunda Khadijah menikah dengan Rasulillah SAW karena keindahan akhlak Rasulullah SAW (baca: agama). Dan kita mengetahui bahwa Khadijah adalah istri paling istimewa Rasulullah SAW yang terkenal sebagai perempuan pertama yang menerima dakwah Rasulullah. Perempuan mulia yang mampu hidup mewah, tetapi memilih hidup sederhana bersama orang-orang miskin, yang memberikan kekuatan ketika Rasulullah SAW merasa lemah, dan sebagainya. Jika suaminya bukan Rasulullah SAW, tak mungkin Bunda Khadijah bisa seperti itu.

Kemudian, Najmuddin Ayyubi (Ayahanda Sang Pembebas Kota Suci Palestina, Salahuddin Al-Ayyubi) menikahi seorang perempuan karena agamanya tanpa bertemu sebelumnya dengan perempuan tersebut. Kisahnya begini, suatu hari Najmuddin melewati sebuah rumah dan mendengar seorang lelaki tua menasihati anak gadisnya yang selalu menolak pinangan lelaki yang melamarnya yang beralasan hanya akan menikah dengan lelaki yang siap bersamanya mendidik anak yang akan membebaskan Palestina. Tanpa ragu, Najmuddin buru-buru mengetuk pintu rumah tersbeut dan segera melamar sang perempuan tanpa lebih dahulu melihat wajah dan fisiknya. Dari pernikahan tersebut kemudian lahirlah Salahuddin Al-Ayyubi (Sumber: majalah Ummi No.60 – XXIX – Juni 2017 – 1438 H).

Lalu bagaimana dengan di sekitar kita?
Adakah bukti bahwa pernikahan yang berlandaskan karena agama (iman kepada Tuhan) memberikan efek yang indah bagi kehidupan?

Mari berbagi cerita!



Previous
Next Post »