>

Bersama Nyanyian Hujan


Hari itu, hujan mulai mengguyur desa kami ketika jam mulai menjukkan pukul 12 siang. Karena aku mengajar di lembaga pendidikan swasta, maka jam kerjaku sesuai dengan jadwal yang diberikan. Artinya, jika jam mengajarku telah habis, maka aku bisa pulang duluan. Tak perlu menunggu sampai jam sekolah berakhir.

Gerimis mulai turun saat aku melangkahkan kakiku di halaman sekolah. Beberapa siswa perempuan yang sedang berada di halaman sekolah yang sedang duduk santai menunggu jam istirahat dan sholat berjamaah selesai menahan kepulanganku.

“Hujan bu! Pulangnya ntar aja!” Dan butiran air pun  berjatuhan semakin besar dan deras, kebur! Begitu kami menyebutnya. Aku pun menghentikan langkah, ikut duduk bersama mereka yang ada di bangku depan kelas. Menunggu hujan reda.

Bukannya reda, hujan malah turun semakin deras.
Kebetulan hari itu ada acara sosialisasi tentang perlindungan anak – cegah merariq kodek. Maka itu kemudian menjadi bahan obrolan pertama di tengah lantunan nyanyian hujan yang semakin lantang.

Kami, mulai berbicara tentang dampak negatif merarik kodek (pernikahan dini). Aku meminta mereka menjelaskan apa yang bisa mereka fahami di acara sosialisasi tadi. Share kepada temannya yang tidak ikut. Mereka berbicara dan aku menambahkan beberapa penjelasan terkait itu.

Hujan semakin deras, dan angin pun ikut menabuh genderang membuat hujan menari dengan semangat. Beberapa siswa yang berada di depanku mengatakan, “hujan bu!”

“Lantas? Apa masalahnya?” Aku menjawab singkat.

“Kita masuk ke ruangan yuk!” Kata yang lainnya

“Tidak. Siang ini ibu ingin bersama hujan. Ibu ingin melihat hujan!” Jawabku. Yang lain mengikuti, memperbaiki duduknya.

“Woi, hujan!” Teriak siswa lainnya dari kejauhan, memberi peringatan kepada siswa yang terkena tepisan air hujan. Namun, teriakan itu tak mampu menggeser posisi kami. Kami tetap berada di tempat itu, berdamai dengan alam, dengan hujan. Memandangnya sebagai kawan yang hendak ikut mendengar cerita-cerita kami.

Obrolan berlanjut ke masalah romantisme. Beberapa siswa curhat tentang perasaan mereka. Tentang tentang perasaan teman lelaki mereka yang harus mereka terima karena beberapa alasan, takut dibilang sok jual mahal, dan ekstrim nya takut di santet. Aku tersenyum mendengar itu, dan terus menyimak setiap kata yang mereka ungkapkan.

“Bu, sebenarnya saya merasa lebih nyaman ketika tidak pacaran. Pacaran kadang bikin hati gimana.... gitu, galau deh!” Ungkap salah seorang dari mereka

“Terus ngapain pacaran?” Tanyaku

“Gak enak nolak bu, takut dibilang sok jual mahal!”

“Itu bagus menurut ibu. Kenapa tidak bilang bahwa tidak mudah mendapatkan hatiku? Dan saya memang bukan perempuan murahan!”

“Eh, ya juga ja! Hehe...”

“Bu, saya lagi bingung mau tinggal sama siapa!” Kata yang lainnya.

“Loh, emang ibu sama bapak cerai?”

“Ya, bu!”

“Bu, gimana caranya agar kakak saya rajin solatnya! Capek saya nasehatin!” Kata yang lainnya.

“Jangan suka nasehatin orang yang lebih dewasa, kadang mereka gak bisa terima nasehat yang dilontarkan anak yang lebih kecil!” Jawabku.

“Terus gimana caranya agar dia juga rajin sholat bu?”

“Nasehati orang yang lebih dewasa itu jangan pake kata-kata tapi keteladanan, plus jangan lupa doain semoga dia bisa segera tersadarkan!”

Apa yang tertulis di atas adalah sebagian dari masalah yang mereka ungkapkan hari itu. Aku berfikir, lama-lama aku berubah profesi jadi konsultan! Hehe... Namun di sisi lain aku juga bersyukur bahwa anak-anak itu mau terbuka kepadaku, apalagi mereka berencana pada hari-hari berikutnya akan curhat kepadaku, tentu ketika waktu memungkinkan.  Dan ketika hari itu datang, semoga aku bisa memberika solusi-solusi cerdas bagi mereka!

Tetebatu Selatan, 24 Nopember 2017

Previous
Next Post »