Ku ceritakan sebuah
kisah nyata tentang seorang perempuan yang telah berumah tangga selama 7 tahun tetapi
belum memiliki keturuan. Tak sedikit usaha yang dilakukannya. Berkunjung ke
rumah sakit dan tempat-tempat pengobatan lokal (untuk tidak menyebut
alternatif) agar bisa hamil dan memiliki anak. Hingga bertemulah ia dengan
seorang belian[1].
Sang istri dan suaminya kemudian bernazar, jika belian tersebut berhasil
mengobatinya dan mereka bisa memiliki keturunan, akan memberikan hadiah kepada
sang belian.
Kurang dari setahun,
sang istri pun hamil. Tentu saja itu merupakan kebahagiaan yang sangat bagi
mereka. Akhrnya penantiannya pun berakhir.
Sekarang, pasangan
suami istri itu telah di karuniai empat orang anak. Saat aku berkunjung ke
belian tersebut, sang belian pun cerita terkait dengan suami istri tadi,
tujuannya mungkin agar aku tak mengikuti jejak mereka. Sang belian bilang,
“jangan pernah membuat janji (baca: nazar) jika memang tak bisa menepati janji
tersebut. Sebab, itu akan menjadi petaka. Apalagi jika janji itu terait dengan
keturunan. Jika janji-janji (terkait keturunan) yang dibuat tidak ditepati maka
anaknya akan menjadikannya musuh, dan ini berlaku hingga tiga keturunan”.
Aku mengingat-ingat
apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga tersebut. Sekarang, mereka telah
memiiki empat orang anak. Dan ku perhatikan, ketika menjadikan standar nilai
Islam, keluarganya jauh dari berkah. Anak-anaknya sering bikin ulah, bahkan
sering menentangnya.
“Seharusnya ia
datang menemui saya, agar saya bisa kasih sesuatu yang menjadi penawar atas
obat yang pernah diberikan kepadanya. Anak pertamanya harus “dijarupin[2]”
agar anak-anaknya bisa patuh dan bakti kepadanya (tidak menentangnya).
Hanya anak pertamanya” Kata sang belian.
Karena perempuan
yang ku maksud adalah tetangga kami, yang juga masih dalam ikatan keluarga,
maka ku minta bunda untuk mengingatkan perempuan tersebut. Ketika diingatkan,
perempuan itu berkata “saya sudah kesana dengan membawa pekakas berupa kain dan
baju”. Yang ku catat disini adalah perempuan itu berkata tepat dua hari sebelum
aku bertemu dengan sang belian.
Aku tak tertarik
untuk mencari tahu siapa jujur dan siapa yang berbohong. Meski mengingat profil
kedua orang yang ku maksud, aku sudah tahu siapa yang mesti di percaya. Yang
penting, dalam kejadian tersebut aku sudah melaksanakan kewajibanku untuk
mengingatkan seseorang yang lupa dengan kewajibannya. Adapun dengan responnya,
ya sudahlah. Itu menjadi urusannya. Meski begitu, aku merasa kasihan dengan
perempuan tersebut!
Catatan:
Di tengah
perkembangan zaman yang katanya dibangun di atas sains modern, jika diperhatikan dan
dianalisis, sebenarnya teknik pengobatan yang dikenal dengan pengobatan modern adalah
pengobatan alternatif. Pengobatan yang utama adalah pengobatan dengan teknik
lokal. Sebab, ketika pengobatan modern menggunakan bahan-bahan kimia yang dalam
jangka waktu panjang akan memberi efek negatif pada pasien, maka pengobatan
lokal yang hari ini disebut sebagai pengobatan alternatif, hanya menggunakan
bahan-bahan alami yang kemudian dibacakan jampi-jampi yang ditutup dengan
kalimat “berkat laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah” bisa menyembuhkan
tanpa efek samping sebagaimana dalam pengobatan yang dikenal dengan pengobatan
modern.
Namun, terkait
dengan ini, setiap orang boleh berpendapat, sepakat atau tidak itu menjadi
urusan masing-masing yang tidak bisa dijadikan alasan untuk berdebat kusir,
bukankah apa yang terjadi sesuai dengan apa yang kau yakini? Orang menyebutnya
faktor sugesti
[1] belian adalah sebutan bagi
seorang tabib pada suku Sasak Lombok
[2]
Sebuah ritual adat sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Tuhan.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon