>

Catatan 137: Seorang Perempuan dan Belian Sasak

Ku ceritakan sebuah kisah nyata tentang seorang perempuan yang telah berumah tangga selama 7 tahun tetapi belum memiliki keturuan. Tak sedikit usaha yang dilakukannya. Berkunjung ke rumah sakit dan tempat-tempat pengobatan lokal (untuk tidak menyebut alternatif) agar bisa hamil dan memiliki anak. Hingga bertemulah ia dengan seorang belian[1]. Sang istri dan suaminya kemudian bernazar, jika belian tersebut berhasil mengobatinya dan mereka bisa memiliki keturunan, akan memberikan hadiah kepada sang belian.

Kurang dari setahun, sang istri pun hamil. Tentu saja itu merupakan kebahagiaan yang sangat bagi mereka. Akhrnya penantiannya pun berakhir.

Sekarang, pasangan suami istri itu telah di karuniai empat orang anak. Saat aku berkunjung ke belian tersebut, sang belian pun cerita terkait dengan suami istri tadi, tujuannya mungkin agar aku tak mengikuti jejak mereka. Sang belian bilang, “jangan pernah membuat janji (baca: nazar) jika memang tak bisa menepati janji tersebut. Sebab, itu akan menjadi petaka. Apalagi jika janji itu terait dengan keturunan. Jika janji-janji (terkait keturunan) yang dibuat tidak ditepati maka anaknya akan menjadikannya musuh, dan ini berlaku hingga tiga keturunan”.

Aku mengingat-ingat apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga tersebut. Sekarang, mereka telah memiiki empat orang anak. Dan ku perhatikan, ketika menjadikan standar nilai Islam, keluarganya jauh dari berkah. Anak-anaknya sering bikin ulah, bahkan sering menentangnya.

“Seharusnya ia datang menemui saya, agar saya bisa kasih sesuatu yang menjadi penawar atas obat yang pernah diberikan kepadanya. Anak pertamanya harus “dijarupin[2]agar anak-anaknya bisa patuh dan bakti kepadanya (tidak menentangnya). Hanya anak pertamanya” Kata sang belian.

Karena perempuan yang ku maksud adalah tetangga kami, yang juga masih dalam ikatan keluarga, maka ku minta bunda untuk mengingatkan perempuan tersebut. Ketika diingatkan, perempuan itu berkata “saya sudah kesana dengan membawa pekakas berupa kain dan baju”. Yang ku catat disini adalah perempuan itu berkata tepat dua hari sebelum aku bertemu dengan sang belian.

Aku tak tertarik untuk mencari tahu siapa jujur dan siapa yang berbohong. Meski mengingat profil kedua orang yang ku maksud, aku sudah tahu siapa yang mesti di percaya. Yang penting, dalam kejadian tersebut aku sudah melaksanakan kewajibanku untuk mengingatkan seseorang yang lupa dengan kewajibannya. Adapun dengan responnya, ya sudahlah. Itu menjadi urusannya.  Meski begitu, aku merasa kasihan dengan perempuan tersebut!

Catatan:
Di tengah perkembangan zaman yang katanya dibangun  di atas sains modern, jika diperhatikan dan dianalisis, sebenarnya teknik pengobatan yang dikenal dengan pengobatan modern adalah pengobatan alternatif. Pengobatan yang utama adalah pengobatan dengan teknik lokal. Sebab, ketika pengobatan modern menggunakan bahan-bahan kimia yang dalam jangka waktu panjang akan memberi efek negatif pada pasien, maka pengobatan lokal yang hari ini disebut sebagai pengobatan alternatif, hanya menggunakan bahan-bahan alami yang kemudian dibacakan jampi-jampi yang ditutup dengan kalimat “berkat laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah” bisa menyembuhkan tanpa efek samping sebagaimana dalam pengobatan yang dikenal dengan pengobatan modern.

Namun, terkait dengan ini, setiap orang boleh berpendapat, sepakat atau tidak itu menjadi urusan masing-masing yang tidak bisa dijadikan alasan untuk berdebat kusir, bukankah apa yang terjadi sesuai dengan apa yang kau yakini? Orang menyebutnya faktor sugesti




[1] belian adalah sebutan bagi seorang tabib pada suku Sasak Lombok
[2] Sebuah ritual adat sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Tuhan
Previous
Next Post »